Hai teman-teman 🙂
Akhirnya saya mulai menulis lagi setelah beberapa saat sempat vakum, karena emang sedikit (sok) sibuk.hehe. Kebetulan sedang dipercaya untuk memegang tanggung jawab untuk beberapa hal.
Mulai saja.
Bila diperhatikan, dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita akan banyak kita jumpai contoh-contoh kasus dimana pengalaman sangat dikedepankan atau bahkan menjadi modal utama dalam berbagai hal.
“-Lowongan Pekerjaan- Dibutuhkan … Pengalaman minimal satu tahun di bidang … “
“Pengalaman kerja apa saja yang pernah Anda dapatkan?”
“Peternakan skala besar ini tidak direkomendasikan kepada calon peternak atau investor baru.”
“Sebutkan pengalaman organisasi apa saja yang pernah kamu dapatkan sebelumnya!”
Beberapa ungkapan di atas – yang saya kutip dari berbagai sumber – menunjukkan bahwa pengalaman memang sesuatu yang dianggap penting oleh banyak orang. Tetapi, lebih dulu saya ungkapkan diawal bahwa saya TIDAK SEPENDAPAT dengan hal tersebut.
Mungkin saya berpendapat seperti itu berdasarkan pengalaman(lho??) saya sendiri.
Berawal sekitar tujuh tahun yang lalu ketika saya mulai berstatus sebagai siswa SMP Negeri 1 Lawang. Selama tiga tahun yang saya lewati, saya merasa cukup aktif sebagai siswa SMP, saya tercatat sebagai pengurus OSIS di sekolah, disamping mengikuti beberapa kegiatan ekstrakurikuler tapi dengan prestasi akademik yang masih lumayan(itu dulu xp).
Setelah tiga tahun tersebut, untuk pertama kali saya merasakan masuk ke sekolah yang memang menjadi pilihan saya sendiri – karena dari TK sampai SMP selalu dipilihkan orang tua – sehingga saya sudah punya motivasi di awal untuk melakukan banyak hal dan mendapatkan banyak pengalaman dalam tiga tahun masa SMA saya.
Mulai kelas X saya sudah tergabung sebagai tim futsal sekolah, aktif mengikuti kepanitiaan berbagai acara di sekolah dan tercatat sebagai pengurus OSIS SMA Negeri 3 Malang, tepatnya sebagai Wakasie 2. Di keOSISan saya juga sempat mengalami bagaimana beratnya menjadi seorang ketua pelaksana untuk Masa Orientasi Siswa dimana saya memikul tanggung jawab untuk menurunkan nilai-nilai baik sebagai kepada adik-adik saya yang baru saja menginjak masa SMA-nya. Selain itu, saya pernah juga mengalami sebagai ketua Bedhol Bhawikarsu (maaf tidak akan dijelaskan panjang lebar), yang kalau disadari sebenarnya tanggung jawabnya luar biasa besar karena disana seorang ketua harus benar-benar mengoordinasikan seluruh warga sekolah, mulai para guru, siswa, sampai karyawan di sekolah untuk membaur bersama warga di sebuah desa dan menginap disana selama tiga hari dua malam ditambah dengan berbagai acara paralel yang harus dipastikan keberlangsungannya selama tiga hari tersebut.
Ketika menginjak kelas XI bahkan saya lebih aktif dan lebih sering lagi meninggalkan kelas saat pelajaran berlangsung (ada dispensasi) karena saat itu saya sempat dipercaya sebagai Ketua I OSIS SMA Negeri 3 Malang. Saya sempat mengalami saat-saat dimana prestasi akademik saya jeblok karena kurang sesuainya pemilihan prioritas dengan kemampuan membagi waktu, karena selain banyaknya kegiatan tersebut saya juga banyak menghabiskan waktu untuk bermain.
Setelah sedemikian panjangnya track record seorang Okky di bangku sekolah menengahnya, hal itu seakan menguap begitu saja ketika memasuki bangku kuliah di kampus ITB. Hari-hari kuliah saya lewati dengan mengikuti perkuliahan di kampus, pulang ke kosan waktu istirahat siang, jarang sekali terlibat di kegiatan kemahasiswaan – alih-alih kegiatan kemahasiswaan terpusat di kampus, kegiatan di fakultas sendiri (STEI) saja sangat jarang saya ikuti.
Banyak hal yang saya sesalkan saat mengingat saat-saat itu, tapi mungkin memang itu yang direncanakan oleh-Nya yang pasti terbaik untuk saya karena sekarang saya merasa memiliki pandangan yang lebih ‘terbuka’ dalam beberapa hal. Karena pengalaman itulah saya jadi menyadari, memang banyak pengalaman itu penting, tapi yang paling penting adalah bagaimana kita memaknai setiap yang kita alami. Saya pernah menjadi seseorang yang punya banyak pengalaman seru dalam hidupnya, tapi sayang sekali pada saat itu saya adalah orang yang sangat tidak memiliki kedewasaan, bahkan tidak terpikirkan soal “arti” ataupun pelajaran dari setiap hal yang saya alami.
Walaupun mungkin saat ini saya belum menjadi orang yang bisa memahami “arti” hidup, tapi saya sedang dalam langkah-langkah untuk mengubah diri tentunya dengan mencoba melakukan banyak hal besar dan selalu berusaha menemukan “makna” dari setiap hal yang saya alami. Menurut saya, tidak cukup jika kita mengharapkan hidup yang senang atau hidup yang seru, tetapi kita perlu memiliki sebuah kehidupan yang punya “arti”.
Jadi saran saya untuk teman-teman (dan untuk diri sendiri tentunya).
Teruslah cari pengalaman sebanyak-banyaknya, selalu berusaha temukan “makna” dibalik semua pengalaman itu.
Tetap semangat mengejar impian teman-teman 🙂