Category Archives: Intrapersonal

Perang Saudara Terus, Gimana Mau Maju?


okkypratama-indonesiaSiapa sih diantara kita orang Indonesia yang tidak pernah mengkritik atau mengeluhkan kondisi negerinya sendiri? Tingkat korupsi tinggi, kemiskinan dimana-mana, pendidikan kurang maju, dll. Jadi sebenarnya sudah jelas apa yang kita semua inginkan. Kita ingin Indonesia menjadi negara terpandang di mata Internasional dengan segala kelebihan dan prestasi yang kita miliki. Tapi coba perhatikan dulu beberapa quotes yang menurut saya menarik:

  • Gimana Indonesia mau maju, di dalam negeri sendiri saja sudah saling sikut. – lupa siapa
  • Satu lagi yang bikin gemeez, #Kita (orang Indonesia) rada ga suka dengan perbedaan pendapat. Helloo..beda pendapat biasa aja kali.. jangan jadi musuhan! – Handry Satriago
  • Negara kita ini lagi berkembang lho, kita jangan terkotak-kotak, mana karya yg lebih bagus ato gimana, kita masih berkembang, kita harus saling support – Herjunot Ali

Sampai sini saja, lanjutannya sudah saatnya kita pikirkan masing-masing…

*gambar diambil dari: http://www.patchdepot.co.uk/

Level Belajar


okkypratama-learngambar diambil dari: http://www.bbhc.org/

“Manusia itu harus terus belajar sejak nafas pertamanya dan baru berhenti pada nafas terakhir”

“Stay foolish, stay hungry” – Steve Jobs

Ada sekian banyak quotes atau perintah yang menganjurkan bahkan mengharuskan kita untuk belajar. Tetapi mengapa kita harus belajar? Apa sebenarnya yang dimaksud dengan belajar? Bagaimana cara belajar? Saya sendiri belum bisa menjawab semua pertanyaan itu dan sampai sekarang masih belajar untuk menemukan jawabannya.

Belajar bisa tentang apapun dan dimanapun, belajar matematika di sekolah, belajar memasak di tempat kursus, belajar menendang bola di lapangan, dst. Terlepas dari tentang apa dan dimana, belajar sendiri memiliki beberapa tingkatan berdasarkan kedalamannya (pendapat pribadi).

  • okkypratama-studyLevel 1. Belajar yang dalam Bahasa Inggris disebut study, yang secara umum berarti mendedikasikan waktu untuk usaha memperoleh ilmu atau pengetahuan. Belajar jenis ini lah yang sering kita lakukan semasa di bangku sekolah dengan cara membaca buku dan latihan soal.
  • Level 2. Belajar yang disebut juga dengan istilah learn yang maknanya proses memperoleh ilmu pengetahuan, bisa dilakukan melalui banyak cara, belajar (study), praktek, melihat, dll. Berbeda dengan level 1 yang menekankan pada proses, level 2 ini berfokus pada hasil yang didapatkan, yaitu berupa ilmu pengetahuan. Kalau study adalah mengenai dedikasi waktu, learn adalah soal memperoleh ilmu pengetahuan. Contoh kalimat berikut mungkin sedikit menggambarkan perbedaannya: “I’ve been studying all day but I don’t think I’ve learned anything”.
  • Level 3. Belajar yang mengubah sikap. Menurut saya ini level tertinggi dari pencapaian belajar, dimana seseorang tidak hanya sekedar mengetahui tetapi juga bisa menentukan sikap atas pengetahuannya yang baru. Contohnya, orang yang mengetahui bahwa olahraga penting untuk kesehatan memutuskan untuk berolahraga secara rutin tiap minggu. Tentu saja ketika mendapatkan ilmu baru tidak semua harus kita setujui, dipikirkan terlebih dahulu kebenaran dan manfaat dari ilmu tersebut. Contohnya, jika ada yang bilang bahwa untuk menjadi orang yang sukses, biasakan membuat jadwal yang rinci setiap harinya, kita mungkin mengetahui hal tersebut tetapi boleh saja jika mengambil sikap untuk tidak melakukannya karena tidak sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut.

Perenungan mengenai level belajar ini terinspirasi dari obrolan saya dengan teman se-rumah kontrakan ketika menonton sekilas kongres partai Nasdem. Pada acara tersebut Pak Surya Paloh sebagai ketua umum sedang menyampaikan pidatonya yang bertemakan kebangsaan.

O: Wah, Surya Paloh ini jago juga ya pidatonya, setidaknya lebih bagus dari Pak SBY

F: Iya

O: Gimana ya latihannya sebelum pidato?

F: Kalo itu udah karakter, bukan cuma hasil latihan.

Dari obrolan itu, saya baru menyadari bahwa sebenarnya tingkatan tertinggi seseorang yang berilmu adalah ketika ilmunya tergambar dari sikap dan perilakunya. Pada kasus Pak Surya Paloh, ilmu dan pemahaman beliau mengenai kebangsaan benar-benar sudah mendarah daging karena itu lah beliau dapat berpidato dengan lancar dan berapi-api (perlu dicatat, saya bukan fans beliau, hehe). Mungkin itu juga yang berlaku pada Pak Soekarno dulu yang dijuluki orator ulung. Sebenarnya bukan semata-mata karena beliau pandai berbicara, tetapi juga karena memang apa yang beliau bicarakan benar-benar dijiwai.

Kalau tingkatan tertinggi orang yang belajar adalah perubahan sikap, maka berbahagia lah jika ada yang bilang, “kamu berubah, sudah bukan kamu yang dulu”. Jawab saja, “iya lah, aku kan belajar” ;p

 *referensi : http://english.stackexchange.com/questions/19533/is-there-any-subtle-difference-between-to-study-and-to-learn

Sistem Pendidikan FInlandia Nomor Satu di Dunia


okkypratama-finland-educationgambar diambil dari: http://edudemic.com/

Banyak pihak mengganggap belum mampunya Indonesia menjadi salah satu negara yang menjadi leader di dunia global dikarenakan masih buruknya sistem pendidikan di negeri ini. Kalau memang sistem pendidikan di Indonesia buruk, lalu seperti apa yang dianggap baik?

Kita bisa mengambil contoh dari negara Finlandia yang mendapat predikat Best Education In The World menurut global report dari Pearson, sebuah education firm ternama di dunia. Berikut fakta-fakta sistem pendidikan di Finlandia yang menjadikannya nomor satu se-dunia:

  1. Anak-anak belum boleh sekolah sebelum berumur 7 tahun. Hal ini dikarenakan sebelum usia tersebut masih waktunya anak-anak bermain dan mengasah kreativitas. Selain itu, hal tersebut juga untuk memastikan bahwa anak-anak sudah siap menerima pengajaran.
  2. Anak-anak tidak diberikan penilaian atau diukur pada 6 tahun awal pendidikannya.
  3. Hanya ada satu ujian standarisasi yang diambil pada usia 16 tahun.
  4. Tidak ada pemisahan antara kelas unggulan dan bukan unggulan.
  5. 66 persen siswa berhasil melanjutkan ke jenjang perkuliahan.
  6. 93 persen orang Finlandia minimal lulusan high school (setara SMA).
  7. Guru di Finlandia minimal bergelar Master.
  8. Guru hanya dipilih dari 10 persen lulusan tertinggi.
  9. Guru merupakan pekerjaan terhormat (setara dokter dan lawyer).
  10. Guru merancang sendiri kurikulum yang akan diajarkan
  11. Tidak membebani siswa dengan jam sekolah yang tinggi dan pekerjaan rumah yang banyak.
  12. Satu kelas berisi maksimal 20 sisswa yang dilayani 3 orang guru.
  13. Pendidikan gratis 100 persen, termasuk di sekolah swasta.

Bagaimana dengan Indonesia? Silakan lihat sendiri di lingkungan sekitar 🙂

Sumber:

http://www.businessinsider.com/finlands-education-system-best-in-world-2012-11?op=1

http://www.huffingtonpost.com/2012/11/27/best-education-in-the-wor_n_2199795.html

http://metrotvnews.com/read/newsvideo/2012/04/16/149252/Finlandia-Punya-Cara-Bikin-Siswa-Cerdas/7

Komik “Sports”


Komik merupakan salah satu bentuk hiburan yang paling disukai, tidak hanya oleh anak-anak, saya pun yang sudah bukan anak-anak juga masih suka. Saking sukanya, mungkin ada banyak diantara kita yang membaca sebuah judul komik berulang-ulang. Ada komik yang pernah ditamatkan waktu kecil, sekarang dibaca lagi, yah, bisa jadi sebuah bentuk nostalgia. Komik yang saya baca kebanyakan seputar silat, komedi, dan sports. Komik sebenarnya bukan hanya sebuah bentuk hiburan karena gambarnya bagus atau ceritanya menarik, tetapi selain itu biasanya ada nilai-nilai(value) tertentu dalam cerita komik yang ternyata tidak kita sadari ketika membacanya waktu kecil dulu.

Khusus untuk komik ber-genre sports, ada tiga komik yang menarik buat saya. Selain karena ceritanya, menurut saya ketiganya membawa nilai-nilai yang sama yaitu mental “hate to lose”.

  1. okkypratama-slamdunkSlam Dunk. Mengisahkan seorang berandalan bernama Hanamichi Sakuragi yang tiba-tiba “terjerumus” ke tim basket di sekolahnya, padahal sebelumnya dia tidak pernah bermain basket sama sekali. Dengan modal sifat tidak mau kalahnya terutama pada teman satu tim sekaligus pesaingnya, si jenius Rukawa, Sakuragi tidak menyerah untuk belajar dan bermain basket, selanjutnya silakan baca sendiri.
  2. okkypratama-whistleWhistle!. Tokoh utama dalam komik ini bernama Sho Kazamatsuri, seorang anak SMP yang menyukai sepak bola namun gagal masuk ke tim sepak bola di sekolah unggulan karena skill-nya yang kurang. Meskipun demikian, dengan sifatnya yang mau belajar (benar-benar super mau belajar) dan dukungan teman-teman se-timnya, Sho pun berkembang, dan selebihnya silakan baca.
  3. Hungry Heart-Wild Striker. Komik yang satu ini sebenarnya tidak sebagus dua komik diatas menurut saya, tetapi nilai yang dibawa yaitu pantang menyerah dan tidak mau kalah juga tergambar dari tokoh utamanya, Kanou Kyosuke. Dalam sepak bola, Kyosuke banyak mendapat tekanan karena selalu dibanding-bandingkan dengan kakaknya, Seisuke yang dalam komik ini bisa bermain untuk AC Milan.

Saya sepakat dengan nilai yang diangkat, bahwa sesungguhnya kesuksesan hanya lah perkara mental. Memang saya belum melakukan atau mencari hasil riset soal ini, tapi dari fenomena lingkungan sekitar yang saya amati tampaknya berkata demikian. Seorang anak yang berhasil meraih ranking  satu misalnya, terlepas dari anak itu jenius atau tidak, semuanya berawal dari drive yang cukup kuat dari dalam dirinya untuk mendapat nilai sebaik-baiknya. Mulai dari kemauan belajar sebagai persiapan, kesiapan untuk berpikir keras selama ujian, dan tentunya berdoa tidak akan dilakukan kalau dia tidak benar-benar punya semangat.

Mungkin ada juga contoh di sekitar kita orang-orang yang dianggap jenius. Contoh nyata terjadi semasa sekolah, ketika ada orang yang tampaknya malas, di kelas sering tidur, tetapi tiba-tiba nilanya tertinggi di kelas. Kita sebagai temannya hanya bisa memaklumi dan berkata “yah, dia kan memang gifted”. Tapi kok secara pribadi saya tidak percaya kalau mereka bisa seperti itu tanpa belajar, pasti dalam kesuksesannya ada peran dari perasaan tidak mau kalah yang berlanjut pada usaha.

I hate to lose more than I love to win. (Jimmy Connors, American Tennis Player)

Ide/Ilham


plainpapergambar diambil dari: http://wallpoper.com/

Bagaikan pesawat kertas yang terbang tidak beraturan kesana kemari, kemudian secara kebetulan menabrak kening. Seperti itu lah kira-kira bagaimana sebuah Aha! moment terjadi, ketika benda “gaib” yang kita kenal dengan nama ide, ilham, atau pencerahan.

Berawal dari perenungan pribadi saya sebelum khutbah shalat Jumat kemarin(25/1/13). Waktu saya berangkat lebih awal jadi masih ada beberapa lama sebelum adzan. Setelah shalat tahiyyatul masjid sebentar, saya pun langsung melanjutkan dengan duduk di masjid sambil merenung. Di tengah renungan saya itu tiba-tiba saja muncul ide tentang sebuah acara yang sedang saya persiapkan. Ritual “merenung” sebelum shalat jumat ini lumayan sering saya lakukan karena saat itu lah hampir selalu saja ada ide yang muncul. Berhubung momennya menjelang shalat jumat, iman lagi meninggi, saya baru sadar bahwa rasanya belum pernah mengucap syukur Alhamdulillah setiap kali saya mendapat ide baru. Padahal apa pun yang terjadi pada kita itu terjadi atas seizin Yang Maha Kuasa, termasuk juga ketika sebuah inspirasi terlintas di kepala out of nowhere.

Berapa banyak diantara kita yang menganggap dirinya kreatif dan banyak ide? Pernah kah bersyukur atas ide itu?

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

 

Membelanjakan atau Menabung?


*tulisan ini murni pendapat pribadi saja, tanpa dasar dan belum dibuktikan kebenarannya, hehe

gambar diambil dari : http://wikinut.com

“Allah akan memberikan rahmat kepada seseorang yang berusaha dari yang baik, membelanjakan dengan pertengahan dan dapat menyisihkan kelebihan untuk menjaga pada hari ia miskin dan membutuhkannya.” (HR. Ahmad dan Muslim)

Semakin lama gejala hedonisme semakin terlihat di masyarakat. Kebiasaan membelanjakan uang dengan seenaknya sedang mewabah, terutama di kalangan anak-anak muda, mungkin saja kita pun sudah menjadi korban gaya hidup yang sedang nge-tren ini. Tanpa disadari sering sekali kita membelanjakan uang untuk sesuatu yang sebenarnya tidak perlu. Seperti kata Ibu Tri Mumpuni pada acara TEDx Bandung, “Kita sering sekali melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu(termasuk membelanjakan uang), hanya untuk memberi impresi pada orang-orang yang sebenarnya tidak penting, yang kita sendiri pun sebenarnya tidak peduli dengan mereka”.

Kalau generasi penerus kita seperti ini, lalu siapakah yang harus bertanggung jawab? Generasi orang tua kah yang salah mendidik?

Bicara soal pendidikan, saya yakin banyak sekali keluarga-keluarga yang mendidik anak untuk menabung sejak dini. Pendidikan menabung mulai dari yang sederhana seperti menabung sisa uang saku di celengan, di bank, sampai menabung dalam bentuk dinar dan dirham. Di sekolah pun anak sudah dibiasakan untuk menabung melalui tabungan rutin yang biasanya disisipkan bersama pembayaran SPP-nya.

Lalu bagaimana hasilnya? Begini-begini saja. Salah kah pendidikannya?

Tidak ada yang salah dengan menabung. Banyak juga anak-anak muda yang ahli dalam menabung, terutama ketika sedang menginginkan sesuatu untuk dibeli. Saking ahlinya banyak juga yang sampai mengurangi makan yang tadinya 3 kali menjadi 2 kali sehari, sering-sering makan mi instan, bahkan kalau perlu mencari-cari event yang ada makanan gratisnya, hehe. Sama diri sendiri saja pelit, apalagi sama orang lain. Sayangnya ketika uang terkumpul, ternyata uang tersebut tidak jarang dibelanjakan lagi-lagi untuk sesuatu yang tidak perlu.

Jadi bagaimana dong?

Mari kita lihat kembali hadist yang tertulis diawal, yang disebut diawal adalah membelanjakan, sedangkan menabung(menyisihkan) baru disebut kemudian, itu pun ketika ada kelebihan. Pantas dicoba oleh orang tua dan sekolah-sekolah di masa sekarang untuk mengubah cara pendidikan soal uang. Ajarkan bagaimana membelanjakan uang dengan bijak daripada bagaimana cara menabungkan uang yang dimiliki. Bukan berarti menabung salah, bukan berarti melarang untuk menabung, tapi jika pendidikan dilakukan dengan benar, bukankah menabung hanya salah satu bagian dari kebijaksanaan dalam membelanjakan uang?

Some People Live


Some people live for the fortune

Some people live just for the fame

Some people live for the power, yeah

Some people live just to play the game

 
Some people think

That the physical things

Define what’s within

And I’ve been there before

That life’s a bore

So full of the superficial

Mungkin kalau teman-teman sudah tahu, kata-kata di atas ini bukan buatan saya, hehe. Kata-kata diatas berasal dari lirik lagu yang dinyanyikan oleh Alicia Keys berjudul “If I Ain’t Got You”. Ya memang lirik diatas tidak lengkap, tapi yang saya cantumkan diatas ini adalah bagian yang menarik untuk saya pribadi. Soal maknanya? Rasanya kali ini saya tidak akan membahasnya karena lebih baik kita renungkan masing-masing 🙂

Pesan Ayah


gambar diambil dari : http://feelislam.com/

Wahai anak-anakku,

 

jika semua yang kita KEHENDAKI harus selalu kita miliki,

bagaimana kita bisa belajar KEIKHLASAN?

 

jika semua yang kita IMPIKAN harus segera terwujud,

bagaimana kita bisa belajar KESABARAN?

 

jika semua doa yang kita panjatkan langsung DIKABULKAN,

bagaimana kita bisa belajar BERIKHTIAR?

 

jika kehidupan kita selalu BAHAGIA,

bagaimana kita bisa mengenal ALLAH lebih dekat?

 

Tetaplah percaya bahwa segala ketentuan-Nya adalah yang terbaik untuk kita 🙂

Keseimbangan Berpikir dan BERTINDAK


gambar diambil dari : http://evolutionvtg.blogspot.com

Pecinta pengembangan karakter pasti tahu nih, motivator-motivator seperti Pak Mario Teguh dan sejenisnya(hehe, maaf bercanda pak) atau di buku-buku pengembangan diri banyak menyebutkan kalau kita ingin melakukan sesuatu tidak usah banyak dipikir. Hal itu sudah disampaikan dalam berbagai redaksi kata-kata yang kreatif dan menarik seperti “think less, do more”,  “bagaimana caranya memulai sesuatu? ya mulai saja! tidak usah terlalu banyak dipikir”, dan sebangsanya.

Bagaimana menurut kamu? Setuju kah?

eits, tunggu dulu.. Prinsip itu kan versinya para motivator dan buku. Kalau kita coba ingat-ingat lagi, prinsip lama versi tua atau sebut saja itu dengan kebijaksanaan justru menekankan kita untuk berpikir. “berpikirlah dulu sebelum bertindak”, “pikir dulu, baru bicara”, dan kawan-kawan sebangsanya.

Lho, jadi gimana dong? mana yang bener nih?

Saya sendiri pun tidak tahu mana yang benar, mana yang salah, wong saya juga cuma manusia yang masih anak bawang, mana berhak bilang benar salah buat orang lain. Tapi kalau preferensi jelas saya punya. Sebagai anak muda tentu saja saya memilih prinsip yang pertama. Buat saya, terlalu banyak berpikir malah membuat kita kurang action, akibatnya kita yang me-review ilmu kita untuk membuat pertimbangan dengan setepat-tepatnya malah sering melewatkan kesempatan yang belum tentu akan datang lagi. Kalau saja kita tidak terlalu banyak berpikir dan lebih banyak bertindak, akan lebih banyak pengalaman yang kita dapat, baik itu keberhasilan maupun kegagalan. Apa? Kegagalan? tidak apa-apa, toh sampai kapanpun tampaknya pengalaman, termasuk pengalaman gagal, masih akan jadi guru terbaik. Lagipula tugas kita sebagai manusia cuma berusaha, sisanya biarkan Allah yang memutuskan.

Oke, itu pilihan saya. Lalu apakah prinsip yang kedua itu menurut saya salah?

Nggak, bro!! saya cuma belum membahasnya saja.

Kita lihat lagi ya redaksinya, “berpikirlah dulu sebelum bertindak”. Dalam prinsip itu kita dianjurkan untuk berpikir SEBELUM bertindak, yang jelas sekali berarti jangan banyak berpikir kalau sudah waktunya bertindak.

Pasti banyak banget kesempatan yang sebenarnya bisa kita gunakan untuk berpikir, bisa berpikir soal rencana, solusi masalah, ide-ide baru, dll. Waktu-waktu tidak produktif dimana kita memang tidak bisa action bisa dimanfaatkan untuk berpikir, seperti waktu menunggu seseorang, waktu menunggu makanan datang, waktu di perjalanan(tapi jangan pas nyetir ya,hehe), dan banyak lainnya sesuai kesibukan masing-masing. Kalau waktu-waktu itu bisa di optimalkan, kita tidak perlu lagi berpikir tidak pada waktunya.

Percaya lah kamu bisa lebih menikmati proses action ketika tidak banyak berpikir.

“Suatu saat kita akan lebih menyesali hal-hal yang tidak kita lakukan daripada hal-hal yang sudah kita lakukan”.

 

Sekian dulu, sisanya renungkan sendiri 🙂

Keterbatasan


Pak Sukawi, dulunya adalah seorang buruh di sebuah perusahaan garmen, namun sekitar tiga tahun lalu beliau di PHK karena perusahaan tempatnya bekerja mengalami kebangkrutan. Dengan statusnya sebagai kepala keluarga yang harus menafkahi keluarganya, apa yang beliau lakukan? Bermodal mesin jahit bekas, beliau memulai usaha jahitnya. Beliau juga mengajak teman-temannya yang menjadi korban PHK untuk ikut membangun usaha jahit tersebut. Sekarang usaha jahit Pak Sukawi sudah berjalan cukup lancar, dengan omzet sekitar 30 juta per bulan, usaha jahitnya bisa menjadi sumber nafkah bagi keluarganya, juga bagi keluarga 45 orang karyawannya. (sumber : http://berita.liputan6.com)

Dari cerita singkat diatas, apa yang kamu rasakan ketika seorang yang sedang jatuh, mampu bangkit dan bahkan menjadi seseorang yang lebih baik dari sebelumnya? Terinspirasi, pasti banyak yang merasakan. Tapi apa yang kamu rasakan ketika seorang buruh yang bertanggung jawab menafkahi keluarganya tiba-tiba dipecat? Merasa kasihan? Natural bagi yang masih berperasaan. Tapi tidakkah kita merasa bahwa kita lah yang sebenarnya perlu dikasihani?

Sudah banyak sekali kisah sukses yang terkenal dimulai dari kondisi yang sebenarnya pantas dikasihani. Steve Jobs yang tidak lulus kuliah? Iwan Setyawan (penulis buku 9 Summers 10 Autumn) yang berasal dari keluarga miskin? Masih banyak cerita-cerita inspiratif lain yang menunjukkan kisah heroik seseorang yang kekurangan berubah menjadi seorang yang luar biasa. Jika kita amati lebih seksama, bukankah kekurangan atau keterbatasan itu justru kelebihan mereka? Melalui keterbatasan itu lah Tuhan memberikan jalan bagi mereka untuk mengusahakan sesuatu yang lebih baik. Dari keterbatasan itu lah muncul kreativitas, dari kekurangan itu lah timbul rasa syukur, dan pengalaman di bawah lah yang membuat kita mampu menghargai orang lain. Sebegitu besarnya kekuatan keterbatasan sampai seorang Bob Sadino bahkan sengaja “memiskinkan diri” sebelum dia menjadi seorang pengusaha sukses seperti sekarang.

Kalau kamu termasuk orang yang pintar, dengan fisik yang lengkap, tinggal di rumah megah, kemana-mana dengan kendaraan mewah, selalu makan makanan enak, dan segala yang kamu inginkan terpenuhi, maka sesungguhnya kamu lah orang yang seharusnya dikasihani, apalagi kalau sampai kamu lupa bersyukur. Kasihan pada diri sendiri karena berarti kamu tidak mendapat kesempatan berharga itu. Darimana kamu bisa mengasah kreativitas? Darimana kamu mau belajar menghargai orang lain? Darimana kamu belajar kerendahan hati? Darimana kamu belajar semangat untuk berjuang? Silakan dijawab masing-masing. Semoga kita selalu ingat untuk bersyukur, pada kelebihan maupun kekurangan.

Ungkapan Syukur Alm. Bu Menteri


Ibu Endang Rahayu Sedianingsih, mantan Menteri Kesehatan RI yang sekarang sudah almarhumah disebut-sebut sebagai salah satu srikandi terbaik yang dimiliki oleh negeri kita. Sebenarnya saya tidak terlalu tahu bagaimana sosok, kepribadian, keseharian, atau prestasi apa yang pernah beliau raih, sejujurnya nama beliau pun belum terlalu familiar bagi saya. Tetapi saya tidak bisa menahan kekaguman saya pada beliau ketika secara tidak sengaja saya membaca sambutan yang Ibu Endang tulis pada 13 April 2011 untuk buku Berdamai dengan Kanker: Kiat Hidup Sehat para Survivor Kanker yang dimuat pada koran Pikiran Rakyat edisi hari ini. Secuplik sambutan yang mengungkapkan betapa beliau adalah seorang yang sangat memaknai hidup dengan selalu bersyukur.

Saya sendiri belum bisa disebut sebagai survivor (penyintas) kanker. Diagnose kanker paru stadium 4 baru ditegakkan 5 bulan yang lalu. Dan sampai kata sambutan ini saya tulis, saya masih berjuang untuk mengatasinya. Tetapi saya tidak bertanya, “Why me?” Saya menganggap ini adalah salah satu anugerah dari Allah SWT.

Sudah begitu banyak anugerah yang saya terima dalam hidup ini: hidup di negara yang indah, tidak dalam peperangan, diberi keluarga besar yang pandai-pandai, dengan sosial ekonomi lumayan, dianugerahi suami yang sangat sabar dan baik hati, dengan 2 putra dan 1 putri yang Alhamdulillah sehat, cerdas, dan berbakti kepada orang tua.

Hidup saya penuh dengan kebahagiaan. “So… Why not?” Mengapa tidak Tuhan menganugerahi saya kanker paru? Tuhan pasti mempunyai rencana-Nya yang belum saya ketahui, tetapi saya merasa SIAP untuk menjalankannya. Insya Allah. Setidaknya saya menjalani sendiri penderitaan yang dialami pasien kanker sehingga bisa memperjuangkan program pengendalian kanker dengan lebih baik.

Bagi rekan-rekanku sesama penderita kanker dan para survivor, mari kita berbaik sangka kepada Allah. Kita terima semua anugerah-Nya dengan bersyukur. Sungguh, lamanya hidup tidaklah sepenting kualitas hidup itu sendiri. Mari lekukan sebaik-baiknya apa yang bisa kita lakukan hari ini. Kita lakukan dengan sepenuh hati. Dan… jangan lupa, nyatakan perasaan kita kepada orang-orang yang kita sayangi. Bersyukurlah, kita masih diberi kesempatan untuk itu.

sumber : Pikiran Rakyat, edisi 3 Mei 2012

[Kecerdasan Emosi] 2. Kenapa Bukan Logika?


Berikut ini adalah tulisan kedua dari seri [Kecerdasan Emosi] di House of Idea, ikut terus ya, silakan langsung kamu tulis komentar kalau kurang setuju atau ingin diskusi lebih lanjut 😀


Kita lihat isu yang sedang agak panas (atau mungkin selalu panas) di Indonesia, yaitu soal kebobrokan pemerintah, ada kasus korupsi, suap, penggelapan pajak, dan banyak lainnya. Kalau dipikir-pikir, memangnya sebodoh itu ya orang-orang yang bisa-bisanya melakukan hal-hal tercela (kata buku PPKn,hehe) seperti itu? Jawabannya pasti tidak, para elit politik itu pastinya adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi, banyak juga yang lulusan luar negeri. Lalu kenapa orang yang “pintar” itu masih melakukan perbuatan yang jelas-jelas sangat bodoh?

Saya jadi teringat ucapan seorang senior saya di ITB, bahwa sebenarnya kita tahu mana yang benar hanya saja seringkali kita tidak melakukannya. Para koruptor, pelaku suap, atau penggelap pajak yang akalnya masih sehat pasti secara logika mereka tahu bahwa hal tersebut tidak baik, tapi masih saja dilakukan. Pasti kita tahu bohong itu dosa, menggujingkan orang lain itu tidak baik, bolos kuliah itu salah, tapi banyak juga diantara kita yang masih sering melakukannya atau hal-hal lain yang sudah jelas-jelas salah. Ya begitu lah, saya akui hal itu sering terjadi juga pada saya, bagaimana dengan kamu? Renungkan saja dalam hati,hehe.

Oke, cukup dengan hal-hal yang tidak baiknya, sekarang coba kita ingat kembali ketika kita berbuat baik (pasti pernah dong), apa sih alasannya? Ketika kita memberi sedekah, ketika kita mendengarkan curhatan teman, atau minimal ketika kita meminta maaf dengan tulus, dilakukan bukan karena logika kita tahu bahwa hal tersebut baik, tapi karena perasaan dan sisi emosional kita lah yang mengatakan hal tersebut baik dan mendorong kita untuk melakukannya, dan seringkali secara spontan seolah-olah tanpa alasan. Karena itu juga lah kasus-kasus buruk yang dibahas diawal masih sering terjadi. Orang-orang tersebut tahu mana yang salah secara logika, tapi karena belum ada keterikatan secara emosional dan perasaannya tidak berkata bahwa yang ia lakukan itu salah, jadi yaa masih saja dilakukan.

Coba kita lihat satu contoh kasus tentang seorang anak, yang kebetulan anak ini seorang muslim, sebut saja namanya Alexander. Alexander merupakan anak semata wayang dalam keluarganya, yang kebetulan keluarga muslim. Sejak kecil Alexander tidak pernah diajarkan dan dibiasakan untuk shalat, orang tuanya pun tidak pernah memberi contoh yang baik soal ini. Ketika menginjak bangku Sekolah Dasar, di sekolah Alexander mendapat pelajaran agama Islam dan disana ia mulai tahu mengenai kewajiban shalat bagi seorang muslim, ia belajar tata cara shalat sampai hafal. Bagaimana hasilnya? Ternyata walaupun yang ia tahu dari pelajaran sekolah shalat itu wajib dan ia pun sebenarnya sudah hafal tata caranya tapi masih saja tidak dilakukan, apalagi memang orang tuanya di rumah kurang memberi teladan yang baik.

Coba kita bandingkan dengan seorang anak yang lain, sebut saja namanya Fransesco, yang juga seorang muslim. Sejak kecil Fransesco sudah dibiasakan untuk shalat lima waktu, selalu diajak ketika orang tuanya shalat di masjid. Kedua orang tua Fransesco benar-benar tegas kepadanya mengenai kewajiban shalat, bahkan ketika Fransesco susah dibangunkan ketika sudah masuk waktu shalat subuh, wajahnya diciprati air oleh ayahnya sampai ia bangun. Ketika tumbuh dewasa, Fransesco mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan di luar negeri. Baru saja sampai di negeri asing tersebut, Fransesco langsung terkejut karena ternyata disana sangat sedikit sekali pemeluk Islam, sehingga sangat jarang ada yang shalat, termasuk teman-teman kuliahnya. Tapi toh ternyata, Fransesco tidak terlalu terpengaruh dengan hal tersebut dan masih rajin shalat bahkan lebih baik lagi dari sebelumnya.

Dua contoh tersebut menunjukkan bahwa adanya keterikatan secara emosional pada hal-hal yang dianggap baik, apalagi jika ditekankan sejak kecil, sangat berpengaruh pada perilaku kita. Walaupun logika kita tahu bahwa sutau perbuatan itu baik, tetapi perasaan kita belum berkata bahwa perbuatan tersebut baik, maka kemungkinan besar tidak akan dilakukan. Satu lagi bukti bahwa kecerdasan emosi lebih penting dari kecerdasan logika.


“Perbuatan baik yang tulus digerakkan oleh hati, bukan oleh pikiran. Bahkan ketika hati sudah tergerak, berbuat baik bukanlah suatu keharusan, tapi menjadi suatu keinginan.” 🙂

*maaf bahasanya agak kacau, dibikin sambil ngantuk,hehe

[Kecerdasan Emosi] 1. Kenapa Penting?


Halo teman-teman semua 😀

Tulisan ini akan mengawali seri [Kecerdasan Emosi] yang saya tulis di blog ini, artinya Insya Allah akan ada tulisan-tulisan berikutnya dari seri ini. Tentunya ini adalah pendapat saya sendiri, hasil renungan dari beberapa pengalaman dan pengamatan yang saya lakukan. Semoga bermanfaat 🙂

Zaman semakin maju, ilmu semakin berkembang, manusia jadi semakin pintar, sampai-sampai “orang pintar” ini lah yang menjadi role-model yang dicapai oleh sebagian besar orang (ini tidak ada datanya, pendapat saya saja.hehe). Salah ngga sih? ya, jelas saya tidak punya hak untuk menghakimi mana yang benar mana yang salah. Saya pun dulu sempat merasakan hal yang sama, ketika “orang pintar” lah yang saya jadikan role-model. Saya ingat sekali doa dan nasihat nenek pada saya, “ojo dadi wong pinter, mengko minteri wong, dadio wong sing ngerti” (ini dalam bahasa Jawa, begini kira-kira terjemahannya, “Jangan jadi orang yang pintar, nanti malah mengakali orang lain, lebih baik jadilah orang yang mengerti). Nasihat ini masih saya ingat terus karena sejujurnya saya sendiri masih belum tahu apa maksudnya dan sampai sekarang pun masih coba merenungi sebenarnya apa maksud doa tersebut.

Saya memang baru memikirkan hal ini semenjak masuk bangku kuliah, tapi cukup untuk sedikit membuka mata saya pada suatu kesimpulan yaitu, “bukan tingkat kepintaran yang paling mempengaruhi hidup seseorang, tapi emosi dan perasaan”. Dalam kesimpulan tersebut saya tidak mengungkapkan mana yang lebih penting dan mana yang tidak penting, soal itu silakan berpendapat masing-masing, tapi saya menekankan soal mana yang lebih mempengaruhi. Perlu dipahami juga, emosi tidak terbatas pada kemarahan, atau ketidaksukaan, tapi ada juga emosi yang positif seperti semangat dan kasih sayang.

Begini kira-kira..

Kita semua pasti setuju kalau hidup adalah pilihan, tapi sadarkah kita kalau seencer apapun otak seseorang, setinggi apapun IQ nya, sekuat apapun logikanya, dan seluas apapun wawasan dia, tetap saja yang paling mempengaruhi pilihan mana yang kita ambil adalah emosi? Disadari atau tidak, ya begitulah yang terjadi menurut saya. Bagi teman-teman yang terlanjur mendewakan kepintarannya mungkin tidak setuju.

Coba kita perhatikan..

Banyak kejadian menunjukkan bahwa seseorang lebih mempercayai orang yang sudah dikenalnya untuk mengisi suatu posisi daripada orang yang kurang dikenal, walaupun mungkin orang yang kurang ia kenal ini punya kemampuan yang sama atau bahkan lebih baik sebenarnya. Banyak contoh menunjukkan ketika seseorang menyukai apa yang ia kerjakan maka ia akan mengerjakannya dengan lebih bersemangat dan hasilnya pun akan lebih maksimal. Ada juga kasus ketika seseorang sedang not in the mood, sikapnya cenderung negatif dan jika dia sedang mengerjakan sesuatu, maka hasilnya cenderung tidak maksimal.

Fenomena-fenomena di atas, walaupun mungkin banyak dikeluhkan oleh orang-orang pintar (atau merasa pintar), tapi tetap saja terjadi dan menurut saya akan terus berlanjut dan hal itu menunjukkan bahwa emosi lah yang paling mempengaruhi pilihan yang kita ambil. Benar sekali, emosi dan perasaan, bukan logika. Itu menurut saya. Dan bukankah banyak hal-hal terpenting dalam hidup kita, seperti menentukan cita-cita, memilih jalan karir, memilih sahabat, sampai memilih pendamping hidup, kita pilih dengan perasaan?

Hal itu juga lah yang menjelaskan kenapa masih banyak diantara kita yang “termakan iklan”. Secara logika memang kita seharusnya membeli atau memilih sesuatu karena kualitasnya, tapi dengan hebatnya ada pihak pembuat iklan mampu “menyentuh” sisi emosional kita sehingga kita bisa memutuskan untuk membeli produk yang ditawarkan. Beberapa pihak yang menyadari pengaruh emosional ini, dengan cerdas mampu mempengaruhi kita tanpa kita sadari, mungkin banyak juga kasus yang serupa selain kasus iklan produk ini. Jadi masih beranggapan logika mengalahkan segalanya?

Terlepas dari mana yang lebih penting, jelas sekali kalau kecerdasan emosi ini sangat penting. Kalau kita tidak mau “dikendalikan” dengan seenaknya oleh orang lain, ayo kita mulai belajar meningkatkan kecerdasan emosional kita 🙂

*nantikan kelanjutan dari seri ini…

Janji dan Ikrar Mahasiswa ITB


Mengingatkan kepada teman-teman mahasiswa ITB bahwa kita pernah berjanji seperti ini…

Janji Mahasiswa Institut Teknologi Bandung

Kami..
Segenap mahasiswa Insitut Teknologi Bandung
Demi Ibu Pertiwi, berjanji
Akan menuntut ilmu,
Keterampilan dan watak penghayatan
Dengan ketekunan dan kesadaran
Bagi kesejahteraan Bangsa Indonesia
Peri kemanusiaan dan peradaban
Berdasarkan Pancasila

Kami berjanji..
Akan menegakkan dan menjunjung tinggi
Kejujuran dan keluhuran pendidikan
Serta susila mahasiswa

Kami berjanji ..
Akan setia pada almamater
Institut Teknologi Bandung
Serta bangsa dan Negara kami
Republik Indonesia

Demi itu kami mohon, Tuhanku
Rahmat dan tuntunan-Mu

Ikrar Mahasiswa Institut Teknologi Bandung

Kami, mahasiswa Institut Teknologi Bandung
Sadar, bahwa kami hanyalah sebagian kecil dari rakyat Indonesia
Yang berkesempatan untuk menikmati pendidikan atas beban rakyat Indonesia
Sadar, bahwa kami dituntut untuk berperan dalam perbaikan dan pembaharuan masyarakat Indonesia
Sadar, bahwa pada pundak kami ini tertumpu harapan masa depan Indonesia

Karenanya :

  1. Kami tidak boleh hanya memikirkan diri sendiri, harus mendahulukan kebutuhan masyarakat
  2. Kami tidak akan menunda-nunda tindakan kami untuk berperan dan membuat perubahan mulai dari diri kami sendiri
  3. Kami akan bekerja keras untuk mewujudkan harapan rakyat bangsa, dan Negara Indonesia serta almamater Institut Teknologi Bandung.

Ikrar ini segera kami buktikan,
Dalam tindakan nyata dari kami

Sumber : http://km.itb.ac.id/

Prelude #satuHMIF


Halo teman-teman semua, sudah sebulan lebih sejak tulisan terakhir saya, akhirnya Okky kembali dengan cerita baru yang cukup menyita waktu dan pikiran akhir-akhir ini, mungkin ini juga sebabnya jadi kekurangan waktu untuk menulis disini. Ini sengaja saya tulis, terlepas dari bagaimanapun jadinya nanti, pasti akan jadi satu memori penting dalam hidup saya. Mari kita simak sebentar…

Jadi langsung saya sampaikan saja inti ceritanya adalah tentang saya yang Insya Allah sekarang sedang menjadi Calon Ketua Himpunan Mahasiswa Informatika (HMIF) ITB untuk periode 2012-2013. Bagi teman-teman yang belum tahu, HMIF ITB adalah organisasi mahasiswa yang anggotanya terdiri mahasiswa program studi Sistem dan Teknologi Informasi dan Teknik Informatika di ITB. Fakta menarik bahwa sebenarnya kami, anggotanya, lebih memandang HMIF sebagai sebuah keluarga daripada sebuah organisasi. Singkatnya, HMIF ini menjadi wadah bagi anggotanya untuk belajar berorganisasi (atau berkeluarga.hehe) dan berkegiatan kemahasiswaan seperti pengabdian masyarakat, pendidikan karakter, dan keprofesian yang melatih softskill dan penerapan keilmuan yang tidak sekedar teoretis sebagai pelengkap ilmu yang didapat di bangku perkuliahan.

Sekitar satu setengah tahun sudah saya menjalani manis pahit kehidupan di ITB termasuk salah satunya di HMIF ITB, dimana saya paling banyak menghabiskan waktu disana. Selama menjalani momen demi momen di HMIF, ada yang hanya sebagai penonton, peserta, atau eksekutor langsung, saya yang Alhamdulillah diberi petunjuk berupa pemikiran kritis (walaupun kadang ini bisa jadi kekurangan), keinginan untuk memberikan sesuatu yang tidak biasa, dan ide yang banyak selama keberjalanan menghasilkan cukup banyak evaluasi dari saya sendiri. Evaluasi tersebut kadang saya utarakan langsung dalam sebuah forum, atau didiskusikan bersama teman-teman terdekat, atau bahkan mungkin saya pikirkan sendiri, seringkali jadi bergumam dalam hati, “wah ini bakal lebih keren kalo begini…, ini bisa lebih luar biasa hasilnya kalo dibegitukan…, kalo bikin itu bagus kali ya…” dan masih banyak lainnya. Dari ide-ide random itu lama kelamaan semacam tersusun sendiri di kepala menjadi harapan-harapan tentang keluarga HMIF yang tidak sekedar lebih baik, tapi yang awesome dan bisa dibanggakan tentunya.

Perlu teman-teman tahu bahwa sebenarnya saya memiliki keinginan atau cita-cita yang tidak lazim dimiliki seorang mahasiswa informatika pada umumnya, apalagi dari ITB yang seharusnya kata orang cukup membawa nama kampus saja peluang kerja sudah terbuka lebar dan kehidupan yang sejahtera sudah menanti. Ya, beberapa teman dekat saya mungkin sudah tahu kalau sebenarnya saya bercita-cita menjadi seorang pengusaha, saya telah memilih jalan itu dan saya ingin memulainya sebelum saya lulus dari kampus Ganesha tercinta ini, perlu saya tegaskan bahwa saya sangat serius dengan hal ini. Sesekali saya sempat berfikir soal benar atau tidaknya cita-cita saya ini karena pada umumnya bukan ini yang seharusnya saya cita-citakan, karena itulah saya bertekad untuk segera melakukan pembuktian, bukan pada orang lain, tapi pada diri saya sendiri bahwa keputusan saya tepat, saya bisa menjalaninya.

Kembali ke kehidupan HMIF. Selama saya berkegiatan di HMIF, pada saat-saat tertentu beberapa kali ada celetukan-celetukan dari beberapa teman yang meminta saya untuk maju menjadi kahim (ketua himpunan) yang tidak terlalu saya pikirkan. Kemudian sampai lah saat-saat menjelang akhir kepengurusan periode 2011-2012, suasana di HMIF sudah mulai ada gejolak-gejolak untuk pergantian kepengurusan. Ketua panitia pemilu terpilih, jajaran panitia terbentuk, makin banyak juga teman-teman yang meminta saya, ada yang berkata “Jadi kahim sana”, ada juga yang bilang “Gue dukung lo ntar, gampang lah”. Beberapa terlihat bercanda, tapi ada juga yang serius. Walaupun begitu, saya jawab “Tidak, no, enggak,….” Karena dengan satu paragraf alasan saya di atas membuat saya tidak terfikirkan sedikitpun untuk mengambil tanggung jawab sebagai ketua HMIF. Seiring berjalannya waktu, mulai ada perasaan galau mendekati dibukanya pendaftaran Bakal Calon Ketua Himpunan. Beberapa teman mulai terlihat serius meminta saya untuk maju, jadilah akhirnya saya mulai berpikir soal ini dan semakin dipikir semakin galau, hehehe.

Setiap ada waktu luang sedikit secara otomatis pikiran saya langsung mengarah kesana, tapi ya begitulah namanya galau, tidak ada solusi yang didapatkan. Kemudian sayapun mencoba mencari solusinya dengan berdoa mohon petunjuk dan coba berkonsultasi ke beberapa orang, teman-teman dekat, orang-orang yang lebih senior dan berpengalaman, dan tentu saja pastinya orang tua. Saya coba menyampaikan kondisi yang sedang saya alami waktu itu, adanya teman-teman yang berharap saya maju, ada modal visi walaupun masih random, saya sampaikan juga berbagai constraint yang dihadapi. Saran yang masuk pun bermacam-macam, ada yang bilang “ini masih tahap pembelajaran, jangan dipikir terlalu berat”, “kalo aku jadi kamu pasti udah maju”, “ikutin aja kata hatimu”. Yah, dengan berbagai saran yang masuk, walaupun sebagian besar condong mendukung saya untuk memutuskan maju, saya masih belum mantap saat itu, sampai akhirnya saya memutuskan kalau saran paling bijaksana untuk saat ini, sama seperti saat-saat sulit lainnya yang pernah saya hadapi, adalah saran orang tua. Lagipula memang Ridha Allah tergantung Ridha orang tua :). Akhirnya saya pun coba menelepon orang tua untuk mengutarakan soal ini, dan ternyata keputusan saya bertanya itu benar, jawaban yang diberikan pun tidak mengecewakan. Orang tua tidak secara langsung bilang “kamu maju saja” atau “kamu jangan maju” tapi “pilih jalan yang paling banyak manfaatnya”. Tanpa berpikir keras saya langsung tahu mana yang paling bermanfaat untuk saat ini, untuk diri sendiri, dan terutama untuk teman-teman saya di HMIF. Dengan mantap saya pun langsung ambil keputusan…

Bismillah… Okky ikhlas dan siap maju menjadi Ketua HMIF periode 2012-2013…

Mohon doanya dari teman-teman semua 🙂