Ini ceritanya berawal dari kunjungan main-main saya ke Jogja kira-kira 1-2 bulan yang lalu. Kebetulan sekali saya punya beberapa teman disana yang otomatis menjadi tour guide gratisan buat saya melihat-lihat Jogja. Cerita lengkapnya mungkin lain waktu saja, langsung saja ke malam terakhir saya disana, saya diajak untuk berfoto di salah satu landmark Jogja, yaitu sang Tugu Jogja. Ada beberapa pikiran aneh waktu saya melihat tugu ini, maklum pertama kali, atau mungkin dulu pernah tapi lupa karena sudah lama sekali sejak saya terakhir ke Jogja. Anehnya adalah tugu ini terletak tepat di tengah-tengah persimpangan perempatan jalan, yang berarti traffic disana ramai sekali, dan herannya lagi ternyata banyak juga orang-orang yang berkumpul di tugu ini untuk sekedar berfoto, apalagi waktu malam hari, dan mereka tidak merasa aneh dengan kendaraan-kendaraan yang lalu lalang di sekitarnya.
Tapi walaupun aneh, setelah dipikir-pikir lagi justru itu kelebihannya. Tugu yang diletakkan di tempat yang mudah diakses publik justru menunjukkan karakter keterbukaan dan merakyat, yang seakan-akan mengatakan “Jogja untuk semua”, mau itu orang Jogja asli ataupun bukan (sebenarnya kata-kata itu bikin-bikinan saya sendiri,hehe).
Dasar saya yang fanatik pada daerah asal saya, Malang, yang terlintas langsung membandingkan dengan apa yang ada di Malang, niatnya mencari-cari kelebihannya, bahwa Malang tidak kalah dengan Jogja sekalipun. Tapi ternyata harus saya akui, khusus untuk urusan tugu ini, Jogja masih lebih baik.
Secara bentuk dan estetika, yaa Tugu Malang ini sebenarnya juga tidak kalah, tapi jika dibandingkan dengan keterbukaan dari Tugu Jogja jelas bertolak belakang. Tugu Jogja yang letaknya terbuka, siapapun seperti diundang untuk “nongkrong” disana, sementara Tugu Malang malah dikelilingi kolam dan pagar, sudah semacam benteng-benteng di Inggris saja. Jadi sedikit terpikirkan, kalau saya yang jadi walikota Malang, akan saya hilangkan itu pagar dan kolamnya. Sayangnya, saya tidak ingin jadi walikota Malang,hehehe